PERLUKAH PERSETUJUAN SUAMI ISTRI TERHADAP TRANSAKSI HARTA BERSAMA

PERLUKAH PERSETUJUAN SUAMI ISTRI TERHADAP TRANSAKSI HARTA BERSAMA – merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas. Topik ini belum banyak yang mengetahuinya, sehingga banyak dari masyakarat yang mengajukan konsultasi hukum terkait permasalahan ini. Untuk itu kami sebagai advokat, pengacara, Konsultansi hukum akan memberikan sedikit gambaran terkait harta bersama dan transaksi-transaksinya.

PERLUKAH PERSETUJUAN SUAMI ISTRI TERHADAP TRANSAKSI HARTA BERSAMA
PERLUKAH PERSETUJUAN SUAMI ISTRI TERHADAP TRANSAKSI HARTA BERSAMA

Harta kekayaan suami istri, bergerak ataupun tidak bergerak yang muncul selama pernikahan termasuk dalam harta bersama. Suami istri tidak boleh melakukan transaksi apapun tanpa seizin dan sepengetahuan dari suami atau istri. Hal ini tentunya sejalan dengan pernyataan dari Pasal 36 ayat (1) UUP  yang berbunyi: Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”

Senada dengan aturan pasal di atas, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur ketidakbolehannya suami atau istri dalam menjual serta memindahkan harta bersama tanpa adanya persetujuan dari pihak lain (Pasal 92). Dengan demikian, jikalau suami istri tersebut menjual dan mengalihkan harta bersama tanpa persetujuan dari suami atau istri, maka bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.

Bagaimana dengan masalah hutang-piutang yang dilakukan suami istri tanpa sepengetahuan pihak lain. siapa yang berkewajiban untuk membayarnya dan harta mana yang akan diambil. Hutang sebagaimana penjelasan di atas  hutang merupakan harta bersama dalam bentuk passiva.  Hal ini sudah diatur dalam Pasal 93 Kompilasi hukum Islam (KHI), sebagai berikut:

  1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.
  2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
  3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
  4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta istri.

Pada ketentuan ayat 1 tersebut  implisit/ tersirat garis hukum bahwa hutang yang dibuat oleh suami atau istri  tanpa persetujuan pihak lain, maka hutang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak yang mengadakan hutang itu. Akibat logisnya bahwa pelunasan hutang itu tidak boleh diambilkan dari harta bersama, tetapi diambilkan dari harta bawaan masing-masing suami atau istri yang mengadakan hutang tersebut.

Demikianlah artikel ini. Semoga bermanfaat jika ingin melakukan konsultasi dapat langsung ke kantor kami atau klik link kami. Terimaksih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *