RESIKO HUKUM JIKA MENJUAL KENDARAAN YANG MASIH KREDIT

RESIKO HUKUM JIKA MENJUAL KENDARAAN YANG MASIH KREDIT – Merupakan pembahan yang sangat menarik. Selain dari menarik pembahasan ini sangat penting untuk kita bahas. Adapun penyebab pembahasan ini menarik dan penting untuk kita bahas adalah fenomena ini sangat banyak sekali terjadi dalam masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa permasalahan tersebut merupakan sebuah hal yang biasa, dan tidak ada resiko hukum jika melakukannya.

RESIKO HUKUM JIKA MENJUAL KENDARAAN YANG MASIH KREDIT
RESIKO HUKUM JIKA MENJUAL KENDARAAN YANG MASIH KREDIT

Bahwa fenomena atau permasalahan menjual kendaraan yang masih kredit tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar. Namun, juga terjadi di Desa-desa. Mulai dari masyarakat biasa hingga masyarakat elit tidak memungkiri menjual kendaraannya yang masih dalam keadaan kredit dengan bermacam-macam  alasan. Ada yang beralasan kendaraan tersebut tidak layak lagi dipakai, ada yang beralasan kebutuhan ekonomi, dan ada juga alasannya ingin mengambil keuntungan dari penjualan tersebut, dan lain-lainnya.

Selanjutnya pertanyaannya adalah apakah perbuatan menjual kendaraan yang masih kredit tersebut dibolehkan? jika tidak boleh, apa resiko hukum yang akan diterima oleh si penjual? Maka untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, dalam hal ini kami tertarik untuk menulis artikel ini dengan judul JERAT HUKUM JIKA MENJUAL KENDARAAN YANG MASIH KREDIT.

Bahwa perlu diketahui dan diingat menjual barang yang masih dalam keadaan kredit tidaklah diperbolehkan. Alasannya adalah setiap Debitur dilarang untuk mengalihkan objek jaminan fidusia kepada orang lain, kecuali pengalihan tersebut mendapatkan persetujuan dari kreditur. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa ““Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia”. 

Dari penjelasan di atas, sangat jelas sekali bahwa Pemberi fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, menyewakan,  sekaligus menjual benda yang merupakan jaminan Fidusia, kecuali dalam hal ini Penerima Fidusia mengizinkannya. Adapun bentuk izin tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis. Kenapa harus tertulis, karena hal tersbut akan menjadi pegangan atau sebagai bukti jika ada permasalahan hukum di kemudian harinya.

Selanjutnya bagi Pemberi Fidusia yang memaksakan diri untuk melakukan pengalihan, penjualan, menggadaikan, atau menyewakannya kepada pihak ketiga atau orang lain tanpa sepengetahuan penerima Fidusia atau si penerima fidusia tidak mengizinkannya, sedangkan Penerima Fidusia tetap melakukannya, maka atas perbuatannya itu si Penerima Fidusia dapat di jerat hukuman pidana, dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda Rp. 50 Juta rupiah. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 36 Undang-undang No 42 Tahun 19999 Tentang Jaminan Fidusia  yang menyatakan bahwa ““Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah”. 

Demikianlah artikel ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Silahkan di share sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. Jika ada pertanyaan, konsultasi hukum, pendampingan hukum, butuh jasa pengacara terkait permasalahan hukum pidana maupun perdata. Maka Bapak/ibu dapat datang langsung ke kantor kami atau konsultasi secara online di whatsapp kami di 0877-9262-2545.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *